No Comments
“Soal intoleransi meningkat itu gejala global, mungkin karena terbawa situasi politik,” katanya seusai menggelar pertemuan dengan ormas-ormas Islam membahas kerukunan antarumat di kantor MUI, Jakarta, Senin (17/1/2011).
Dalam sepuluh tahun terakhir, kata Slamet, masyarakat seolah tidak dapat membedakan mana yang merupakan urusan agama dan mana yang bukan. Urusan politik, ekonomi, keamanan, dan pertahanan yang karut-marut menjadi pemicu intoleransi tersebut. Terkadang, masyarakat membawa-bawa agama dalam urusan politik, ekonomi, keamanan, dan pertahanan itu.
“Banyak faktor, kita tidak bisa melihat intoleransi dalam kontek hubungan antarumat beragama. Berkaitan dengan hubungan kepentingan, politik, ekonomi, sosial, budaya, tidak semata-mata karena agama. Masyarakat mengalami dislokasi,” paparnya.
Sementara itu, Direktur International Crisis Group Indonesia Sidney Jones berdasarkan hasil penelitiannya mengungkapkan, terdapat sejumlah faktor yang memicu intoleransi tersebut, antara lain, proses ekspansi ajaran agama pada kawasan yang tidak tepat, culture demokrasi yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi setiap umat, kurangnya kontrol pemerintah pusat terhadap daerah, dan kurang tegasnya pihak kepolisian.
“Misalnya, dalam demokrasi, makin banyak ruang Islam garis keras berekspresi. Tapi, ada yang bisa dikatakan penyebaran kebencian untuk satu agama atau kelompok itu juga makin luas di Indonesia tanpa ada diskusi antara garis batas kebebasan berekspresi dan penghasutan kriminal,” ujar Sidney.
Atas kondisi tersebut, menurut Sidney, diperlukan sebuah kebijakan ketat, tanpa toleransi terhadap aksi apa pun yang menghakimi kelompok agama lain. Slamet Effendi pun mengatakan hal yang sama. Diperlukan saling menghargai, mengerti, dan menjaga perasaan setiap umat. “Dibangun saling pengertian, selain regulasi, termasuk di dalam dakwahnya. Misalnya, penyalahgunaan simbol-simbol agama, misal simbol Kristen jangan dipakai oleh orang Islam, begitu pun sebaliknya,” papar Slamet.
0 Responses
Posting Komentar