- 28 Maret 2005
Revolusi dari Ruang Bawah Tanah
Mimpi itu muncul dari sebuah ruang di bawah tanah yang sunyi, gelap, dan dingin. Grand Forks, sebuah kota di sisi timur laut Negara Bagian North Dakota, Amerika Serikat, akhir bulan lalu memang masih dibalut musim dingin. Di rumah terpencil di tepi kebun yang berselimut salju itulah Brad dan temannya yang juga bernama Brad memulai mimpinya: menjadi penyiar radio dengan program siaran mingguan "Mengapa Memancing".
Ruangan bawah tanah milik salah seorang teman Brad itu mereka sulap menjadi studio ala kadarnya yang tak memiliki mikrofon atau panel-panel instrumen yang canggih. Tak ada pemancar yang menjulang ke langit, apalagi izin resmi untuk sewa frekuensi. Di sana cuma ada sofa tua, meja minum kopi, sebuah laptop, dan mikrofon karaoke yang di Jakarta mungkin harganya cuma sekitar Rp 75 ribu. Dan untuk menahan dingin, dua Brad itu terpaksa harus tetap memakai kaus kaki tebalnya.
Dengan memegang sebuah mikrofon sambil menatap layar laptop yang ada di atas meja kopi, mereka memuji keindahan Sungai Merah, sungai di kota mereka yang kini membeku. Dua Brad itu juga menghadirkan wawancara dengan pemancing profesional papan atas. Kemudian, mereka mengucapkan salam pamit.
"Saya Brad," kata Brad yang nama aslinya Brad Durick, 29 tahun, seorang salesman. "Dan saya Brad," kata Brad yang satunya, penulis di koran lokal, Brad Dokken, 44 tahun. "Sampai jumpa pekan depan. Biarkan pancing Anda tetap di air. Jagalah senarnya agar tetap kencang, dan nikmati hari memancing."
Memang ini sebuah siaran amatiran. Tapi, jangan salah, siaran dengan durasi 15 menit dari ruang bawah tanah ini sudah mendunia. Setiap hari ada sekitar 100 orang dari berbagai belahan dunia yang mengunduh (download) siaran bertajuk "Mengapa Memancing" itu lewat Internet dan mendengarkannya di peranti pemutar MP3 (moving pictures expert group 1, audio layer 3?ini adalah file suara yang dimampatkan sehingga berukuran kecil dengan kualitas yang luar biasa?Red). Pendengarnya memang tidak banyak, tapi dua pemancing itu dapat meraih mimpinya: menyebarkan ide bahwa memancing itu asyik.
Brad dan Brad adalah salah satu pionir teknologi siaran radio terbaru, yakni podcasting (kata baru yang lahir dari "iPod" dan "broadcast"). Dengan teknologi ini, orang bisa membuat siaran sendiri: dengan merekam di komputer dalam format MP3, lalu mengirimnya ke situs web, sehingga para pendengar di seluruh dunia bisa mengambil dan mendengarkannya di iPod atau pemutar MP3 lainnya.
Ribuan orang kini melakukan hal seperti Brad dan Brad itu, menjadi penyiar yang mendunia. Ragam program siaran pun tak terbatas. Mulai dari yang ringan seperti "Keju Belanda dan Pai Amerika" yang dibikin oleh warga Belanda yang hijrah ke Amerika Serikat, hingga yang ideologis seperti "Lamrim.com" buatan seorang penganut Buddha fanatik asal Tibet, atau siaran super-serius dari Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) yang mereka namai "Science@NASA Current Stories".
I I I DEMAM podcasting memang menjalar ke mana-mana. Tengoklah Boy Avianto. Insinyur arsitektur Institut Teknologi Bandung itu kini punya acara rutin sebelum pulang dari kampusnya, International School of New Media, di Lubeck, Jerman, yakni mengunduh siaran podcast lewat Macintosh G4 berlayar 23 inci kesayangannya. "Inilah kantor pusat pembuatan tesis saya," ujar Boy bercanda. "Dunia berputar di sekitar meja ini."
Mari kita tengok dunia Boy. Di meja yang tergolong rapi untuk ukuran mahasiswa itu?cuma ada dua cangkir kopi, sekotak jus jeruk, beberapa buah buku?setiap hari dia mengisi iPod dengan podcasting yang berisi pelbagai berita terbaru. Minimal 10 berita per hari. Ke mana pun ia pergi, berita-berita yang disimpan di iPod miliknya itu selalu menyertainya. Itulah yang terjadi Kamis pekan lalu. Ketika Kota Lubeck mulai menghangat, dengan suhu udara sekitar 10 derajat Celsius, Boy berjalan kaki pulang ke rumahnya. Lubeck adalah kota kecil. Jadi, rumah bisa ditempuh hanya dalam waktu 10 menit. Sambil menggendong tas ranselnya, dia menyusuri Sungai Trave yang menawan. Dari iPod yang ada di tasnya itu mengalunlah suara empuk penyiar Wired yang membawakan berbagai berita teknologi terbaru. Sepuluh menit yang penuh berita. "Podcasting praktis. Bisa didengarkan kapan pun, tanpa terikat ruang dan waktu," ujar Boy, orang pertama yang mengenal teknologi podcasting di kampusnya itu, kepada Tempo.
Boy, sebagai pakar media, meramalkan bahwa kepopuleran podcasting ini akan melambung seperti halnya blogger, situs web pribadi yang pada awal tahun 2000 jumlahnya hanya beberapa gelintir dan sekarang membengkak menjadi sekitar 7,5 juta. "Podcasting bakal meledak beberapa tahun lagi," kata Boy yakin.
Di Amerika Serikat, meski baru berumur tujuh bulan, teknologi ini sudah menjadi demam di mana-mana. Banyak "orang biasa" yang punya mimpi seperti Brad dan Brad: menjadi bintang di radionya sendiri. Sekurangnya kini tercatat ada sekitar 3.500 podcast. Salah satu penyiar sukses itu adalah tiga pria asal California Selatan. Siaran mereka menembus Top 50 (inilah 50 siaran terpopuler se-Amerika Serikat versi Podcastelley.com). Ketiga pria itu tampil dengan "Grape Radio", sebuah siaran khusus mengenai minum anggur. Keahlian mereka? Mereka cuma terbiasa minum beragam jenis anggur dan kemudian mengudarakan pengalamannya.
Selain radio khusus anggur itu, juga ada podcast yang melakukan siaran semau pemiliknya. Contohnya antara lain siaran "Musik Terburuk yang Pernah Anda Dengar". Lalu ada radio yang direkam oleh dua anak muda Devan dan Kris Johnson, yang dalam setiap siarannya selalu berpesan, "Saya harap tiap orang makan alpukat." Siaran tentang Tuhan (godcast) juga sangat gencar, boleh jadi sama gencarnya dengan siaran tentang judi dari Las Vegas. Bahkan berbagai kisah seputar ranjang pun bertebaran di radio jenis ini. Sebuah revolusi radio telah lahir, dari tempat yang tak diduga-duga: dari ruang bawah tanah, meja judi, gereja Katolik, juga gudang anggur.
Jumlah pendengar podcast yang semakin menggelembung itu membuat waswas pengelola radio di Amerika Serikat dan Eropa. Soalnya, di AS saja kini ada sekitar 13 juta pemutar MP3. Mereka waswas jumlah pendengar radio konvensional semakin susut. Apalagi radio amatiran ini mulai menggaet iklan. "Miller Report", contohnya. Podcast asal Grand Forks ini mulai mendapat iklan dari sebuah penyewaan limusin. Desakan dari radio-radio amatir tanpa lisensi itu membuat radio konvensional seperti British Broadcasting Co (BBC) dan National Public Radio, stasiun radio dari Boston, menyediakan layanan podcast.
Toh, ada juga yang tak khawatir. "Industri radio cuma ditantang," kata Laraine Mancini, analis dari Merrill Lynch. "Mereka tak akan mati."
Burhan Sholihin (Forbes, Business Week, NYT, Guardian)
0 Responses
Posting Komentar