- 04 April 2005
Selamat Datang di Surga Nirkabel
Di sebuah bangunan di salah satu sudut Kota Banda Aceh yang terkepung sisa-sisa lumpur dan bangkai kayu, terdengarlah sorak kecil. "Berhasil," kata M. Salehuddin sambil menatap rekan-rekannya. Di depan mereka tampak layar komputer yang berkedip-kedip membuka sebuah halaman web. Lima sekawan itulah yang untuk pertama kalinya menghubungkan Tanah Jeumpa itu dengan Jakarta lewat Internet.
Setelah enam jam terayun-ayun di lambung pesawat Hercules milik Australia, mereka tiba di Banda Aceh sehabis zuhur. Berkejaran dengan matahari yang kian surut, Salehuddin dan teman-temannya memasang parabola berukuran 1,2 meter yang diboyong dari Jakarta. Hampir empat jam mereka mencari-cari sinyal satelit agar terhubung ke Jakarta melalui satelit milik PT Pasifik Satelit Nusantara. "Setengah mati susahnya," ujar Salehuddin, yang tiba di Aceh 1 Januari 2005. Soalnya, Salehuddin harus mencari-cari sinyal satelit tanpa spektrum meter. Dan sepuluh jam yang penuh peluh itu pun menjadi tak sia-sia.
"Kami berangkat dengan bekal sekadarnya: pakaian, dua parabola, dan enam pasang perangkat wireless (nirkabel)," kata Edwardo Rusfid, Ketua Yayasan Air Putih. Bahkan alas tidur pun mereka tak bawa, padahal mereka harus tidur di lantai sebuah ruang pamer mobil di antara gulungan kabel dan laptop yang menyala 24 jam. Uang bekal Rp 13,7 juta pun patungan dari "membongkar" kartu ATM (anjungan tunai mandiri) masing-masing. Meski dengan peralatan sekadarnya itu, setelah mengutak-atik kabel, parabola, dan komputer, mereka pun bisa membuka halaman web. Eureka!
Empat hari setelah tsunami menyapu kawasan itu, infrastruktur komunikasi di Aceh memang lumpuh. Telepon sebagian besar mati, ponsel juga jadi tulalit karena tiada sinyal. Ribuan relawan, juga pejabat, mengalami kesulitan serupa. Itu yang membuat penanggulangan bencana pun kedodoran tak keruan. Internet, kata Edwardo, bisa membuka sumbat saluran komunikasi itu.
Dari dua parabola, Internet pun disebarkan lewat jaringan nirkabel ke berbagai lokasi, seperti di pendopo kantor dinas Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. Rupanya, fasilitas yang dipasang tanpa dua alat wajib itu-yakni teropong dan alat penentu jejak global positioning system (GPS)-tokcer. Internet mengalir lancar, walau antena peranti nirkabel itu dipasang tanpa menara khusus, cuma dengan kayu bekas atau dipaku di pohon. Banyak relawan, wartawan, dan pejabat yang memanfaatkan Internet gratis ini.
Gerilya para jago komputer itu ternyata mencengangkan. Dalam sebulan, mereka telah membangun 20 titik panas (hotspot, area yang bisa mengakses Internet tanpa kabel) dengan ratusan komputer. Internet itu dipasang di pendopo kantor gubernur, sekolah, hanggar pesawat, dan warnet. Pusat informasi mereka, yakni halaman web Aceh Media Center (http://www.acehmediacenter.or.id), juga dibanjiri pengunjung di luar Aceh. "Hanya dalam tiga hari, server tua kami jebol," ujar Edwardo. Untung, produsen komputer beramai-ramai menyumbang yayasan yang usianya seumur jagung ini.
Sementara Air Putih bergerak dari gerilya dan spontanitas, produsen komputer IBM datang dengan tim super-serius. Dua pekan setelah petaka humbalang air, mereka memboyong dua perangkat SWIS (secure wireless infrastructure system) yang harganya ratusan ribu dolar dan tenaga ahli dari Amerika Serikat. SWIS adalah perangkat yang terdiri dari sebuah parabola untuk mengambil Internet dari satelit Inmarsat, telepon berbasis Internet, dan jaringan nirkabel tercanggih, WiMAX, yang bisa menjangkau daerah sejauh 50 kilometer.
Sistem ini dipinjamkan hingga akhir April 2005 untuk mendukung Sistem Informasi Bencana Aceh (Simba) yang juga dibangun oleh IBM. Simba adalah sistem informasi resmi bencana terkomplet yang pernah dimiliki pemerintah. Sistem yang dibangun hanya dalam waktu empat pekan itu terdiri dari beberapa modul, antara lain: mencari orang yang hilang atau pindah, mendata kerusakan infrastruktur, manajemen aliran logistik, serta pengelolaan posko. Sistem yang diresmikan oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab pada 18 Februari lalu itu kini bisa diakses di Internet lewat http://acehrecovery.nad.go.id.
Sumber data Simba ini didapat dengan mengerahkan relawan khusus yang berbekal 250 laptop Thinkpad yang dilengkapi dengan kamera digital dan pemindai sidik jari. Saat ini pasukan relawan tersebut telah mendata 150 ribu penduduk Aceh dengan meminta informasi awal dari para keuchik (lurah).
Adi Sasitiwarih, Kepala Bagian Data Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, mengakui data yang terkumpul itu memang belum sempurna. Namun, data itu bisa dijadikan patokan untuk pembagian bantuan.
Untuk meningkatkan kualitas data, kini Adi tengah mengerahkan pasukan relawannya untuk melakukan verifikasi ulang. "Beberapa data harus kita cuci dan hapus," katanya.
Verifikasi itu bakal dilengkapi dengan pengambilan foto dan sidik jari. Data ini punya banyak fungsi. Salah satunya adalah setiap pengambil bantuan bisa dikenali dengan sidik jari. Jadi, tak ada pengungsi yang mengambil jatah dua kali. Dengan data sekomplet itu-selengkap database pemilik SIM (surat izin mengemudi)-kelak data ini juga bisa dijadikan dasar untuk pembuatan KTP (kartu tanda penduduk) sementara.
Di luar proyek amal Internet gratis dan Simba itu, ada lagi rencana yang lebih dahsyat, yakni membuat kota-kota di Aceh terhubung dengan Internet berkecepatan maksimum. Global Marine Satelit System Limited (GSML) asal Inggris telah berencana memasang kabel optik mengelilingi laut Aceh. Kabel laut sepanjang 840 kilometer ini bisa menyalurkan data dengan kecepatan 8 gigabyte per detik! (Dalam waktu sedetik, ia bisa mengirimkan 10 film format VCD.) Kecepatan itu bisa membuat akses Internet 200 ribu rumah wuz.. wuz.. wuz.
Kabel laut senilai US$ 30 juta (sekitar Rp 283 miliar) itu untuk menghubungkan Medan, Lhok Seumawe, Banda Aceh, Calang, dan Meulaboh. Di tiap kota di Aceh, Internet dari kabel optik ini akan dipancarkan dengan akses nirkabel Breeze Access VL. Ini adalah perangkat jaringan tanpa kabel cukup canggih yang bisa menyalurkan data sejauh 15 kilometer, dan bisa bekerja meskipun ada halangan pohon atau gedung (non-lines of sight). Kemampuan mengusung datanya pun oke, yakni 27 megabyte per detik. Bayangkan, data sebuah diska (hard disk) komputer bisa dikirim hanya dalam sekedipan mata. Teknologi ini cuma kalah kelas dengan teknologi nirkabel terkini, yakni WiMAX, yang bisa menyalurkan data 74 megabyte per detik namun belum banyak dijual bebas.
"Sebenarnya kita akan diberi bantuan WiMAX. Sayang, karena frekuensi WiMAX 3 gigahertz sudah dipakai untuk komunikasi satelit, jadi akhirnya dialihkan ke teknologi pre-WiMAX," kata Edwardo.
Dengan kombinasi kabel optik dan jaringan nirkabel ini, Aceh bukan cuma bisa mengalahkan Jakarta, tapi juga kota termaju di Malaysia, Cyberjaya, atau Lembah Silikon di Amerika Serikat. Infrastruktur ini memungkinkan penduduk Aceh bisa belajar lewat Internet dari warung rokok pinggir jalan, sekolah, rumah sakit, maupun rumah. Cukup lengkapi komputer atau laptop dengan peranti nirkabel.
Sayangnya, semua usulan itu terbentur perizinan. Untuk menggelar akses nirkabel di frekuensi 5,7 gigahertz, perlu izin khusus dan harus membayar biaya hak penggunaan frekuensi. Selain itu, harus membayar bea masuk impor yang besar 30 persen dari harga perangkat. "Dari mana kami punya uang?" tanya Edwardo. "Kami berangkat ke Aceh dengan nol, keluar pun kembali ke nol. Ini akan diserahkan kepada masyarakat Aceh." Toh, kendati Air Putih sudah menjamin tak ada motif bisnis dalam hak penggunaan frekuensi tersebut, sudah dua bulan ini pemerintah tak kunjung memberi jawaban.
"Kami masih menimbang-nimbang," kata Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil kepada Tempo. Sofyan sudah dilobi oleh bos Intel Asia Pasifik, pemberi bantuan ini, namun belum ada kepastian. Dengan ketidakpastian itu, Edwardo waswas kesempatan mendapat bantuan itu pun bisa hilang.
Burhan Sholihin, Suryani Ika Sari, Adi Warsidi (Banda Aceh)
0 Responses
Posting Komentar